Hadawiyah telah bergabung menjadi relawan sosial sejak tahun 2011. Niatan menjadi relawan didasari atas trauma terhadap peristiwa masa lalu, sebuah penyakit yang menjangkiti suaminya, iparnya, hingga mertua. Suami dan Ipar berhasil sembuh, namun nyawa mertuanya tidak berhasil diselamatkan.

Hadawiyah bercerita, saat dirinya tengah hamil ketiga kalinya, pada tahun 2001. Tiba-tiba suaminya muntah darah, dia panik dan tak tahu berbuat apa. Sang suami lalu dilarikan ke rumah sakit guna mendapatkan perawatan.

Menurut dokter, suaminya terserang Tuberkulosis. Perawatan dan pengobatan pun ditempuh.  Hadawiyah betul-betul merasakan, begitu kalutnya seorang istri yang lagi hamil melihat suaminya terbaring sakit.

Beruntung, melalui Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) yang dia peroleh dari kantor kelurahan, suaminya mendapatkan pengobatan gratis dari balai paru-paru hingga dinyatakan negative Tuberculosis.

Tahun pun berlalu, tepat saat dia mendapatkan informasi adanya perekrutan relawan untuk memberantas Tuberculosis melalui organisasi Aisyiyah. Jiwanya pun tergerak dan terobsesi untuk memberantas penyakit menular ini.

Dia kemudian bergabung menjadi relawan Pengawas Menelan Obat (PMO) TB Care Aisyiyah, tahun 2011. Itulah langkah kaki pertama, Hadawiyah menjadi relawan yang kerap terjun di tengah masyarakat, hingga bergabung ke Yayasan Jenewa Madani Indonesia sebagai relawan perubahan perilaku masyarakat.

“Kita harus tetap berbuat baik. Sebab, kita  tidak akan pernah tahu, perbuatan apa yang akan mendapatkan balasan,” jawabannya ketika ditanya, mengapa ingin menjadi relawan sosial.

Di kala, anaknya mendapatkan privilege memasuki perguruan tinggi karena jaringan relawan sosial yang dia geluti. Waktu itu, dia sementara menjalankan program PILIHANKU dari BKKBN antara tahun 2016-2017, program yang menjangkau pasangan usia subur dan keluarga untuk mendapatkan informasi, sehingga mereka dapat memilih metode yang tepat pada waktu yang tepat sesuai tahapan kehidupannya.

Kebetulan, koordinator program tersebut juga merupakan petinggi di kampus bidikan anaknya.

“Anak saya dibiayai hingga selesai, saya merasa bahwa ini adalah keajaiban relawan sosial. Meski tak dihargai secara materi, namun derajat kita di mata sesama sangat berharga,” terangnya.

Kini, Hadawiyah semakin akrab dikenal sebagai relawan penyelamat oleh warga setempat. Ketika awal pandemi covid-19, setiap hari, bahkan terkadang subuh hari, dia sudah bergerak mendatangi rumah suspect yang terindentifikasi dan menghubungi petugas kesehatan untuk menjemput pasien ke lokasi karantina.

Tak hanya itu, setelah berjibaku di lapangan – dari rumah ke rumah, dia harus bekerja extra di posko penanggulangan Covid-19 hingga larut malam guna merapikan data dan administrasi pasien. Ada rasa haru yang dalam, jika pasien yang ia temukan dan tangani dapat sembuh kembali.

Namun, sedih yang mendalam saat pasien tersebut dinyatakan meninggal dunia. Air matanya menetes, terlebih pasien tersebut adalah tetangganya sendiri.
“Begitulah, kami relawan hanya dapat berusaha dan membantu. Selebihnya, kami serahkan kepada yang maha kuasa,” tuturnya mengenang beberapa orang yang dia kenal meninggal karena penyakit yang menyerang sistem pernafasan tersebut.

Namun, kehadirannya tak selamanya diterima baik oleh masyarakat. Hadawiyah juga bercerita, jika dirinya kerap ditolak oleh keluarga pasien yang enggan anggota keluarganya divonis Covid-19. Bahkan, dirinya pernah dilempari panci dan ditutupi pintu saat hendak menjemput anggota keluarga yang teridentifikasi.

Waktu itu, dia menemukan data bahwa seorang karyawan sala satu BUMN, merupakan pasien Tuberculosis  juga terindentifikasi Covid-19. Dia pun datang ke kediaman yang bersangkutan, namun keluarga korban menolak jika yang bersangkutan mengidap TB dan Covid-19.

Alasannya, pasien muntah darah bukan karena penyakit, melainkan terjatuh dari motor. Kedatangan pertama kalinya, dia mengalah dan balik. Kedatangan kedua kalinya, kelurga mengusir dengan melempari panci dan menutup pintu.

Menolak pasien diamankan ke lokasi karantina. Akhirnya, kedatangan ketiga kalinya, Hadawiyah memboyong polisi yang juga merupakan anggota satgas untuk menjemput paksa sang pasien, juga tetap menolak.

Tak lama berselang, pasien tersebut kemudian didapatinya dirawat di rumah sakit beserta anggota keluarganya yang telah tertular. Pasien terlihat sangat kurus dan susah bernafas normal, terakhir Hadawiyah mendapatkan kabar, jika pasien tersebut meninggal dunia.

Bagi Hadawiyah, menemukan pasien Covid-19, tak akan ada habisnya jika masyarakat tidak diberi edukasi. Bayangkan, dalam sehari saja, Hadawiyah dapat menemukan 20-30 pasien Covid-19.

Hadawiyah menjadi Duta Perubahan Perilaku dengan mengajak masyarakat untuk tetap menggunakan masker, menjaga jarak, hingga rajin mencuci tangan. Angka penularan pun berhasil ditekan.

“Ini soal karakter masyarakat. Pola pikir mereka yang harus diubah, dan diyakinkan bahwa menang ada penyakit seperti itu (TB dan Covid-19). Penyakit itu bukan kutukan atau “guna-guna”, setiap penyakit bisa diobati. Masyarakat juga menganggap bahwa jika TB atau Covid itu adalah aib, siri’ bagi orang Bugis Makassar, sehingga keluarganya menutupinya,” terangnya.

Beruntung saat ini Covid-19 sudah bisa dikendalikan, berkat upaya kita bersama, termasuk sosok relawan seperti Hadawiyah.

Meski pasien sudah sangat jarang ditemukan, bukan berarti Hadawiyah berhenti bergerak, dia bahkan tetap aktif menjadi relawan Kader posyandu lansia dan binaan terpadu, bahkan sejak tahun 2014 sebagai kader PPKBD (Penyuluh pembantu keluarga berencana tingkat desa/kelurahan) yang merupakan bagian dari program kemitraan dengan IpeKB (Ikatan Penyuluh Keluarga Berencana) Kota Makassar.

Sebagai Kader Perubahan Perilaku Masyarakat di Yayasan Jenewa Madani Indonesia, Hadawiyah pun bicara terkait kendala imunisasi yang kerap terjadi di lapangan.

Menurutnya, tingkat imunisasi yang kurang tidak berada pada kalangan kelurga miskin, melainkan keluarga yang sibuk.

“Anak yang tidak imunisasi kerap kali terjadi, pada keluarga yang kerja kantoran, suami-istri sibuk dan anak dijaga pembantu. Beruntung jika pembantu rumah tangganya, melek pendidikan. Jika tidak, maka anak tersebut dibiarkan saja,” ujar lulusan sarjana komunikasi ini.

Begitulah Hadawiyah dengan segala upayanya. Satu hal yang tetap dia pegang dan yakini, bahwa berlian akan tetap menjadi berlian meskipun dia terbenam di dalam lumpur.

“Upaya saya ini, bukan tanpa cemoohan masyarakat, tapi karena konsistensi saya, setiap ada program yang butuh relawan, saya selalu diajak untuk terlibat,” tutup Ibu yang juga merupakan Kader Pembangunan Manusia Kelurahan Ballaparang ini.

Penulis oleh: khairil Ar

Sumber: https://tuturkata.com/2022/12/04/pernah-dilempar-panci-hadawiyah-terus-mengedukasi/

Leave a Reply

Your email address will not be published.